As Indonesia heads to the polls in 2014, its economy is slowing. The end of the commodities boom and the global return to more normal monetary policy has exposed some weaknesses. Exchange-rate depreciation has absorbed some of the adjustment; but structural rigidities are still likely to limit the expansion of non-commodity sectors, and the increased fuel-subsidy bill for imported oil is putting pressure on the current account and the budget. The immediate focus is on demand-side consolidation to manage inflation and the currentaccount deficit.For an economy like Indonesia's to be overheating, and for monetary and fiscal authorities to be engineering a soft landing, when growth is below 6%, points to major structural problems. If Indonesia is to prevent the current rate of growth from becoming the new normal, there will need to be a substantial supply-side response to lift productivity, as well as a restructuring of the economy and the introduction of policies that make the economy more flexible in adjusting to shocks. The current economic slowdown has yet to trigger sweeping reforms; policy coordination remains problematic as Indonesia enters a big political year.Compared with its neighbours, Indonesia is largely on the outside of the regional production networks, and its manufacturing sector does not play into factory Asia. Now, faced with lower commodity prices globallyand growth in non-resource sectors is critical the lack of a large manufacturing base appears to be a weakness. Indonesia is attracting more foreign direct investment than ever and is climbing the global rankings of preferred economies in which to invest, but this is occurring without improvements to its investment environment or competitiveness. Indonesia can participate more fully in global supply chains and increase its potential for growth by upgrading its infrastructure, improving its investment environment, and using regional initiatives strategically to make strong commitments that reinforce its priorities for domestic reform.In its hosting of APEC in 2013, Indonesia championed infrastructure investment where the lack of structural reform and macroeconomic constraints are inhibiting much-needed expansion, both in Indonesia and in the region. The positive outcome, albeit only a small step forward for the Doha Round, at the WTO Ministerial Conference in Bali, in December, also builds momentum for better regional and global cooperation. The priority now is for Indonesia to commit to, and show leadership in, the Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) and the implementation of the ASEAN Economic Community. Seiring dengan beranjaknya Indonesia menuju pemilihan umum 2014, perekonomian justru menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Berakhirnya masa keemasan komoditas dan kembalinya perekonomian global kepada pola kebijakan moneter yang normal telah menyingkap beberapa kelemahan. Depresiasi nilai tukar telah membantu menyerap sebagian kelemahan tersebut, namun kekakuan struktural masih akan membatasi ekspansi sektor-sektor non-komoditas. Selain itu, bertambahnya beban subsidi bahan bakar memberikan tekanan pada transaksi berjalan dan pada anggaran. Fokus jangka pendek adalah konsolidasi sisi permintaan untuk dapat mengelola inflasi dan deficit transaksi berjalan.Bagi ekonomi seperti Indonesia, adanya gejala overheating, dan adanya upaya otoritas moneter dan fiskal untuk menahannya pada saat pertumbuhan di bawah 6%, menunjukkan adanya masalah struktural yang mendalam. Jika Indonesia tidak ingin terperangkap dalam pertumbuhan saat ini sebagai keseimbangan baru, berbagai respon dari sisi penawaran harus dilakukan untuk menaikkan produktivitas, disertai restrukturisasi ekonomi, serta kebijakan-kebijakan yang membuat perekonomian lebih fleksibel terhadap guncangan. Perlambatan ekonomi yang terjadi sekarang belum bisa memicu reformasi yang menyeluruh; kordinasi kebijakan tetap menjadi masalah utama saat Indonesia memasuki tahun politik 2014.Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, Indonesia masih tertinggal dalam hal jaringan produksi regional, dan sektor industri pengolahannya belum terlibat dalam pabrik Asia. Saat ini, dengan turunnya harga komoditas global - dan pertumbuhan sektor-sektor selain sumber daya alam adalah sangat penting - kurangnya basis industri pengolahan menjadi salah satu satu kelemahan utama. Saat ini, Indonesia berhasil menarik investasi asing langsung (FDI) dalam jumlah yang terbesar dibandingkan periode-periode sebelumnya. Posisi Indonesia juga kini tengah berada di antara negara-negara favorit untuk investasi. Namun semua ini terjadi tanpa disertai perbaikan pada iklim investasi atau daya saing. Indonesia dapat berpartisipasi lebih dalam lagi dalam rantai penawaran global sekaligus menaikkan potensi pertumbuhannya dengan menambah kualitas dan jumlah infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, serta memanfaatkan inisiatif-inisiatif regional untuk membuat komitmen yang dapat memperkuat prioritas reformasi dalam negeri.Sebagai tuan rumah APEC pada tahun 2013, Indonesia mendorong perlunya investasi infrastruktur di saat kurangnya reformasi struktural dan adanya kendala-kendala makroekonomi menjadi penghambat ekpansi yang sangat dibutuhkan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Selain itu, sekalipun konferensi Tingkat Menteri di Bali yang diselenggarakan pada Desember lalu hanyalah sebagian kecil dari langkah bagi Perundingan Doha, keberadaannya juga berhasil membangun momentum bagi kerjasama regional dan global. Saat ini, prioritas Indonesia adalah untuk menunjukkan komitmen dan kepemimpinan di ajang Kerjasama Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/ RCEP) serta mengimplementasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN/ MEA(ASEAN Economic Community/ AEC).